Pendahuluan
Deskripsi Mikotoksin
Mikotoksin adalah senyawa toksik yang dihasilkan oleh jamur tertentu yang tumbuh pada tanaman pangan dan pakan. Jamur yang paling umum menghasilkan mikotoksin adalah dari jenis Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium. Mikotoksin memiliki potensi untuk menyebabkan berbagai penyakit dan gangguan pada manusia dan hewan, tergantung pada jenis mikotoksin, dosis, dan durasi paparan. Dalam konteks keamanan pangan, mikotoksin menjadi perhatian serius karena dapat mencemari berbagai produk pangan dan pakan, termasuk biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan kering, dan produk susu.
Aflatoksin
Salah satu jenis mikotoksin yang paling terkenal dan berbahaya adalah aflatoksin. Aflatoksin diproduksi oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Terdapat beberapa jenis aflatoksin, namun yang paling umum dan penting dari segi toksisitas adalah aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1 adalah yang paling toksik dan paling umum ditemukan.
Sumber Aflatoksin
Aflatoksin biasanya ditemukan pada produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, kacang-kacangan, biji kapas, dan berbagai jenis rempah. Kondisi penyimpanan yang buruk, seperti kelembaban tinggi dan suhu hangat, dapat mempercepat pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin.
Bahaya Aflatoksin
Aflatoksin sangat berbahaya karena dapat menyebabkan berbagai penyakit serius. Pada manusia, paparan aflatoksin dapat menyebabkan kanker hati, hepatitis, masalah imunitas, dan bahkan kematian dalam kasus paparan akut yang sangat tinggi. Hewan yang mengonsumsi pakan terkontaminasi aflatoksin dapat mengalami penurunan pertumbuhan, kerusakan hati, penurunan produksi susu, dan kematian. Selain itu, residu aflatoksin dari pakan hewan dapat masuk ke rantai makanan manusia melalui produk hewani seperti susu, daging, dan telur.
B. Klasifikasi Aflatoksin
Ada sekitar 18 jenis aflatoksin yang telah ditemukan,aflatoksin utama yang sering ditemukan adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1 dan M2. Setiap jenis aflatoksin memiliki karakteristik dan tingkat toksisitas yang berbeda:
Aflatoksin B1 dan B2
Aflatoksin B1 (AFB1) adalah mikotoksin yang paling toksik dan karsinogenik. AFB1 memiliki potensi yang tinggi untuk menyebabkan kanker hati pada manusia dan hewan. Secara alami, aflatoksin ini diproduksi oleh spesies Aspergillus seperti A. flavus, A. parasiticus, A. nomius, A. bombycis, A. arachidi-cola, A. minisclerotigenes, A. ochraceoroseus, A. pseudotamarii dan A. rambellii. Tingkat sensitivitas dan toksisitas AFB1 bervariasi secara signifikan antar spesies, karena perbedaan dalam biotransformasinya.
Aflatoksin G1 dan G2
Aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2) adalah racun yang dihasilkan oleh spesies jamur tanah, A. parasiticus, A. nominus, A. bombyccis, A. arachidicola, dan A. flavus. AFG1 memiliki kaitannya dengan toksisitas dan hepato-karsinogenisitas pada populasi manusia dan hewan namun tingkat toksisitasnya lebih rendah dari AFB1, sedangkan AFG2 memiliki aktivitas yang jauh lebih rendah.
Aflatoksin M1 dan M2
Aflatoksin M1 (AFM1) dan M2 (AFM2) masing-masing merupakan turunan 4-hidroksi AFB1 dan AFB2, yang diproduksi oleh A. flavus dan A. parasiticus. Setelah memasuki tubuh manusia atau hewan, AFB1 dan AFB2 dimetabolisme oleh sistem oksidase fungsi campuran mikrosomal hati (sitokrom P450) menjadi zat antara epoksida yang reaktif, namun mereka juga dapat dihidroksilasi menjadi aflatoksin M1 dan M2 yang kurang berbahaya.
C. Aflatoksin dan dampaknya pada kesehatan
Aflatoksin B1, sebagai yang paling berbahaya, memiliki tingkat toksisitas yang sangat tinggi, dengan kemampuan untuk merusak DNA dan menyebabkan mutasi genetik. Hal ini menjadikan AFB1 sebagai karsinogen kelas 1 menurut International Agency for Research on Cancer (IARC). Dunia Industri pada negara maju dan berkembang menghadapi tantangan adanya kontaminasi mikotoksin terutama aflatoksin pada produk pangan dan pakan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyimpulkan bahwa sekitar 25% sereal dunia terkontaminasi mikotoksin termasuk aflatoksin.
Komoditi pangan yang paling umum terkena dampak aflatoksin adalah sereal (jagung, gandum, barley, jagung, oats dan rye), kacang-kacangan (hazelnut, kacang tanah dan kacang pistachio), buah-buahan kering (ara), dan rempah-rempah. Pada manusia, konsumsi aflatoksin dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker hati, sementara paparan jangka pendek dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati akut.
Regulasi batasan Aflatoksin
Organisasi internasional seperti Codex Alimentarius Commission telah menetapkan batas maksimal residu aflatoksin dalam pangan dan pakan untuk memastikan keamanan konsumen. Misalnya, batas maksimal aflatoksin total (B1, B2, G1, G2) dalam kacang tanah yang dikonsumsi langsung adalah 15 µg/kg, sedangkan untuk jagung yang digunakan sebagai bahan pakan adalah 20 µg/kg.
CODEX dibentuk oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) dan WHO dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin perdagangan internasional. Di Indonesia sendiri Regulasi mengenai batasan aflatoksin tercantum dalam:
Upaya pengendalian dan pengawasan terhadap aflatoksin juga melibatkan kerjasama antara pemerintah, industri, dan petani untuk memastikan produk pangan dan pakan yang aman dari kontaminasi mikotoksin. Implementasi Good Agricultural Practices (GAP), Good Manufacturing Practices (GMP), dan sistem pengawasan yang ketat merupakan langkah-langkah penting dalam mengurangi risiko kontaminasi aflatoksin.
Baca juga artikel terkait Food Safety ELISA Kit untuk Keamanan Pangan dari Elabscience.
D. Deteksi Aflatoksin
Beberapa metode populer untuk mendeteksi paparan aflatoksin dalam makanan dan pakan adalah:
Tabel 1. Perbedaan Teknik deteksi Aflatoksin
Teknik | Prinsip Kerja | Kelebihan | Kekurangan |
Thin Layer Chromatography (TLC) | TLC adalah metode kromatografi yang memisahkan senyawa berdasarkan perbedaan polaritas. Pada TLC, sampel diekstraksi dan diaplikasikan pada pelat tipis yang dilapisi dengan fase diam (biasanya silica gel). Pelat kemudian dikembangkan dalam larutan pelarut yang bertindak sebagai fase gerak. | ● Sederhana dan murah.
● Memungkinkan analisis beberapa sampel secara simultan.
|
● Sensitivitas dan resolusi lebih rendah dibandingkan HPLC dan LC-MS.
● Kurang kuantitatif.
|
High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) | HPLC adalah teknik kromatografi yang memisahkan komponen dalam sampel menggunakan kolom kromatografi di bawah tekanan tinggi. Deteksi aflatoksin biasanya dilakukan dengan detektor fluoresensi. | ● Sensitivitas dan resolusi tinggi.
● Sangat kuantitatif dan akurat.
|
● Memerlukan peralatan mahal dan operator terlatih.
● Waktu analisis lebih lama dibandingkan metode sederhana seperti TLC.
|
Liquid Chromatography-Mass Spectrometry (LCMS) | LC-MS menggabungkan kemampuan pemisahan HPLC dengan kemampuan deteksi mass spectrometry, yang memungkinkan identifikasi dan kuantifikasi yang sangat sensitif dan spesifik. | ● Sensitivitas dan spesifisitas sangat tinggi.
● Dapat menganalisis campuran kompleks dan mendeteksi senyawa pada level sangat rendah. |
● Sangat mahal dan memerlukan keahlian khusus.
● Peralatan kompleks dan perawatan intensif.
|
Enzyme-linked immune-sorbent assay (ELISA) | ELISA adalah teknik imunologi yang menggunakan antibodi untuk mendeteksi dan mengukur aflatoksin. Teknik ini didasarkan pada reaksi antigen-antibodi yang menghasilkan sinyal yang dapat diukur secara spektrofotometri. | ● Cepat dan relatif mudah.
● Dapat digunakan untuk skrining jumlah sampel yang besar.
|
● Kurang spesifik dibandingkan HPLC dan LC-MS.
● Rentan terhadap kesalahan jika tidak dilakukan dengan benar.
|
Deteksi aflatoksin yang efektif memerlukan pemilihan teknik yang tepat berdasarkan kebutuhan spesifik, termasuk sensitivitas, spesifisitas, biaya, dan ketersediaan peralatan. HPLC dan LC-MS menawarkan sensitivitas dan spesifisitas tinggi yang sangat cocok untuk analisis kuantitatif yang akurat, sementara TLC dan ELISA adalah metode yang lebih sederhana dan cepat untuk skrining awal. Pemilihan teknik yang tepat sangat penting untuk memastikan keamanan pangan dan pakan dari kontaminasi aflatoksin.
Sumber: