Diagnosis Molekuler Berbasis PCR untuk Spinal Muscular Atrophy (SMA) dan Trombofilia dengan Real-Time PCR Kit dari GenMark

Diagnosis Molekuler Berbasis PCR untuk Spinal Muscular Atrophy (SMA) dan Trombofilia dengan Real-Time PCR Kit dari GenMark

Diagnosis Molekuler Berbasis PCR untuk Spinal Muscular Atrophy (SMA) dan Trombofilia dengan Real-Time PCR Kit dari GenMark

Skrining dini SMA dan trombofilia memungkinkan identifikasi pasien sebelum kemunculan tanda-tanda klinis serius, sehingga mampu mencegah progresi penyakit menjadi parah dan mortalitas tinggi. Deteksi dini, diagnosis, dan intervensi melalui skrining ini dapat mencegah kematian atau kecacatan.

 1. Spinal Muscular Atrophy (SMA)

Spinal muscular atrophy (SMA) merupakan kelainan neuromuskular yang ditandai dengan kelemahan dan atrofi otot progresif. Kondisi ini menyebabkan degenerasi progresif yang akhirnya menyebabkan kehilangan ireversibel sel-sel tanduk anterior (α-motor neuron) sumsum tulang belakang dan nukleus batang otak. Hilangnya sel-sel ini menyebabkan kelemahan otot proksimal progresif (penyakit neuron motorik bawah). SMA merupakan kondisi relatif jarang dengan prevalensi yang masih belum dapat dideterminasi secara pasti. Estimasi insiden SMA yaitu berkisar 4-10 per 100.000 kelahiran (prevalensi 1-2 setiap 10.000). Laju carrier diperkirakan antara 1 dari 50 dan 90 individu.

SMA diturunkan secara resesif autosomal dan dikaitkan dengan perubahan, seperti delesi dan small intragenic alterations, pada gen SMNI (survival motor neurone gene) yang terletak pada kromosom 5q13. Sekitar 94% kasus SMA dilaporkan memiliki delesi homozigot pada ekson 7 di SMNI, sedangkan 6% kasus SMA dengan delesi pada satu salinan SMNI serta perubahan intragenik pada salinan lainnya. Secara umum, dua salinan SMNI pada satu kromosom bukan merupakan hal yang langka. Sekitar 7% individu tanpa SMA atau riwayat keluarga dengan SMA dilaporkan mereka memiliki 3-4 salinan gen SMNI.

Tabel 1. Klasifikasi klinis untuk jenis-jenis subtipe SMA.

Subtipe Keparahan Usia Kemunculan Rentang Hidup Pencapaian Perkembangan
SMA Tipe 0 Parah Pergerakan fetus yang menurun sebelum kelahiran (prenatal ) dapat diketahui pada masa antenatal <6 bulan Pencapaian motorik tidak berhasil. Ciri lain mungkin termasuk arthrogryposis multiplex congenital, hipotonia neonatal parah dan kegagalan respirasi saat lahir
SMA Tipe I (Werdnig- Hoffmann) Parah <6 bulan, pada beberapa bulan pertama pasca kelahiran Kelangsungan hidup rata-rata adalah 8-10 bulan.Mortalitas akibat kegagalan respirasi sering terjadi pada usia 2 tahun. Gejala kelemahan otot parah dan hipotonia muncul pada beberapa bulan pertama. Sebagian besar balita tidak pernah bisa duduk atau berjalan
SMA Tipe II (penyakit Dubowitz) Intermediat 6-18 bulan 70% individu dapat tumbuh dewasa Balita biasanya mampu duduk sendiri namun tidak mampu berjalan sendiri
SMA Tipe II (Kugelberg- Welander) Ringan >18 bulan Normal Balita awalnya mampu berjalan secara mandiri tetapi mungkin mengalami kesulitan menaiki tangga dan berlari
SMA Tipe IV Ringan >30 tahun Normal Dapat disertai dengan kelelahan dan kelemahan otot proksimal. Kehilangan kemampuan berjalan dapat terjadi setelah pada usia 50 tahunan

Salah satu faktor yang mungkin menyebabkan fenotipe SMA bervariasi adalah jumlah salinan gen SMN2 yang juga terletak pada kromosom 5. Gen SMNI dan SMN2 secara karakteristik hampir identik satu sama lain, sehingga terdapat kemungkinan bahwa hilangnya gen SMNI dapat dikompensasi oleh sintesis protein dari SMN2. Individu dengan fenotipe SMA tidak parah umumnya memiliki lebih banyak salinan gen SMN2 dibandingkan mereka yang memiliki SMA tipe I atau tipe II.

Gejala utama SMA adalah kelemahan otot proksimal progresif dan hilangnya gerakan sekunder akibat penyusutan otot yang mungkin juga disebabkan oleh riwayat kesulitan motorik atau regresi motorik. Usia kemunculan gejala dapat mulai dari kelahiran hingga usia dewasa dengan tingkat keparahan bervariasi. Peningkatan kematian neuron juga dapat dideteksi sedini 12 minggu kehamilan untuk janin dengan SMA tipe I. Gejala yang diperiksa mencakup kelemahan otot proksimal (dibandingkan kelemahan otot distal), hipotonia, hiporefleksia atau arefleksia, tremor tangan dan fasikulasi lidah.

Diagnosis dapat dilakukan dengan dua metode:

  • EMG (Elektromiografi) adalah teknik diagnostik untuk mengukur aktivitas elektrik dan respons otot terhadap rangsangan saraf. Metode ini digunakan sebagai metode diagnostik awal untuk SMA untuk membuktikan kehilangan neuron atau akson.
  • Setelah pendugaan klinis, diagnosis SMA dapat dikonfirmasi melalui pengujian genetik molekuler untuk analisis dosis dan perubahan SMNI dan SMN2. Jumlah salinan SMN2 dapat mempengaruhi fenotipe klinis.

Tabel 2. Real-Time PCR Kit skrining SMA.

Katalog Deskripsi Grade
SMN1M-RT50 geneMAP™ SMN1 Exon 7/8 Screening Kit, 50T CE-IVD

Terapi baru saat ini dengan Zolgensma® (onasemnogene abeparvovec-xioi) merupakan terapi berlisensi untuk digunakan dalam manajemen SMA. Zolgensma® merupakan terapi gen berbasis vektor berbasis-gen virus adeno mampu menyediakan salinan baru gen penghasil protein SMN. Untuk saat ini, efek samping jangka panjang dan konsekuensi fenotipik dari terapi ini belum didapat ditentukan secara pasti.

2. Trombofilia

Trombofilia merupakan kondisi kecenderungan pengembangan insiden trombotik pada vena dan/atau arteri. Kondisi ini biasanya ditandai dengan munculnya manifestasi klinis pada usia muda (<50 tahun). Pemeriksaan skrining trombofilia sangat penting untuk mengenali pasien yang berisiko mengalami tromboemboli vena dan emboli paru. Meskipun trombofilia dapat disebabkan oleh unsur kongenital dan diperoleh, sebagian besar perubahan trombofilik bersifat kongenital. Manifestasi klinis trombofilia yang paling sering adalah DVT (deep vein thrombosis). yang merupakan kondisi multifaktorial yang diakibatkan oleh interaksi faktor risiko kongenital dan diperoleh. Adanya faktor risiko kongenital dan diperoleh secara bersamaan meningkatkan risiko DVT secara signifikan, disamping faktor risiko sementara, seperti pembedahan klinis, kehamilan, puerperium (nifas), terapi estrogen-progestin dan imobilisasi lama.

Prevalensi kelainan kongenital bervariasi tergantung pada jenis kerusakan:

  • defisiensi ATIII (antitrombin III) sekitar 0,2%
  • defisiensi protein C sekitar 0,5%
  • defisiensi faktor V Leiden (FV Leiden) sebesar 3-7%
  • defisiensi protrombin G20210A (FII G20210A) sebesar 5%

Secara umum, insiden tromboemboli vena akan tetap tinggi meskipun tindakan pencegahan primer dan sekunder telah dilakukan. Emboli paru merupakan komplikasi parah dari tromboemboli vena, yang mampu meningkatkan mortalitas secara signifikan dikarenakan gejala klinis yang tidak spesifik. Skrining trombofilia didasarkan pada pencarian predisposisi terhadap trombosis merupakan alat diagnostik penting untuk mengidentifikasi subjek berisiko tinggi trombotik dan menentukan perawatan paling tepat bagi pasien trombosis.

Indikasi utama skrining trombofilia adalah mengevaluasi risiko berulang setelah tromboemboli pertama atau setelah kekambuhan berulang. Skrining trombofilik juga harus diperluas ke subjek asimtomatik yaitu kerabat tingkat pertama dari pembawa trombofilia herediter atau memiliki riwayat keluarga dengan penyakit tromboemboli. Setelah risiko keseluruhan ditetapkan, terapi antikoagulan yang paling tepat dapat dimulai. Pria memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan wanita.

Indikator skrining trombofilia sebagai berikut:

  • Kejadian trombotik pada usia <50 tahun
  • Trombosis idiopatik
  • Trombosis kambuh berulang
  • Trombosis dengan lokalisasi atipikal (vena serebral, vena mesenterika, sirkulasi splanknik)
  • Nekrosis kulit akibat penggunaan antikoagulan oral
  • Sindrom antibodi antifosfolipid
  • Purpura fulminan neonatus
  • Kerabat tingkat pertama dari subjek dengan trombofilia herediter
  • Poliaborsi (dua atau lebih keguguran spontan pada trimester pertama)

Pengujian PT dan aPTT merupakan tes tingkat pertama yang memungkinkan identifikasi ketidakseimbangan koagulatif. Dalam kasus positif, pengujian fungsional untuk ATIII, protein C, dan protein S harus dikonfirmasi dengan metode antigenik berdasarkan pengukuran protein spesifik. Pengukuran fibrinogen dengan metode Clauss memungkinkan identifikasi disfibrinogenemia, yaitu kondisi yang ditandai dengan kadar fibrinogen normal dengan perubahan aktivitas biologis. Pengujian LAC, antibodi anti-beta-2-glikoprotein-1, dan antibodi antikardiolipin merupakan tiga metode diagnostik untuk sindrom antibodi antifosfolipid. FV Leiden (tidak seperti wildtype) memiliki substitusi asam amino yang membuatnya tidak sensitif terhadap degradasi oleh kompleks protein C teraktivasi. FII G20210A dikaitkan dengan peningkatan transkripsi gen dan peningkatan kadar protrombin yang bersirkulasi.

Diagnosis trombofilia herediter memerlukan setidaknya satu dari kondisi berikut:

  • defisiensi ATIII
  • defisiensi protein C
  • defisiensi protein S
  • FV Leiden
  • mutasi FII G20210A

Pencarian mutasi FV Leiden dan FII G20210A harus dilakukan pada kerabat tingkat pertama dari subjek serta kerabat subjek dengan defisiensi ATIII, protein C, dan protein S. Dalam kasus apa pun, tes genetik harus didahului dengan konseling genetik.

Tabel 3. Real-Time PCR Kit skrining Trombofilia.

Katalog Deskripsi Grade
FVL-RT50 geneMAP™ FV Leiden Mutation Detection Kit, 50T CE-IVD
FII-RT50 geneMAP™ FII Mutation Detection Kit, 50T CE-IVD
MTHFI-RT50 geneMAP™ MTHFR C677T Mutation Detection Kit, 50T CE-IVD
MTHFII-RT50 geneMAP™ MTHFR A1298C Mutation Detection Kit, 50T CE-IVD
PAI-RT50 geneMAP™ PAI-1 4G/5G Mutation Detection Kit, 50T CE-IVD
FXIII-RT50 geneMAP™ FXIII Mutation Detection Kit, 50T CE-IVD
THR-RT50 geneMAP™ Thrombophilia Panel, 50T(FII,FVL, C677&A1298) CE-IVD
THR6-RT50 geneMAP™ Thrombophilia Panel, 50T (FII,FVL, MTHFR677, MTHFR1298, PAI, FXIII) CE-IVD

3. Referensi

  1. Marcello Ciaccio. 2024. Clinical and Laboratory Medicine Textbook. Springer.
  2. Amber Mathiesen Phillips, Kali Bogaard Roy. 2024. Foundations of Perinatal Genetic Counseling: A Guide for Counselors. Oxford University Press.
  3. Hacer Aker, Mary Aiken. 2021. Handbook of Research on Cyberchondria, Health Literacy, and the Role of Media in Society’s Perception of Medical Information. IGI Global.