DIAGNOSIS MUTASI TROMBOFILIA MENGGUNAKAN KIT REAL-TIME PCR DARI GENERI-BIOTECH

DIAGNOSIS MUTASI TROMBOFILIA MENGGUNAKAN KIT REAL-TIME PCR DARI GENERI-BIOTECH

DIAGNOSIS MUTASI TROMBOFILIA MENGGUNAKAN KIT REAL-TIME PCR DARI GENERI-BIOTECH

Tromboemboli Vena dan Trombofilia

Tromboemboli vena (VTE) didefinisikan sebagai kejadian adanya trombosis vena dalam (DVT) dan/atau emboli paru (PE). Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan insiden VTE bervariasi di antara kelompok ras/etnis dengan prevalensi lebih tinggi pada orang kulit hitam, menengah pada  orang kulit putih, dan rendah pada populasi etnis Asia. Insiden dan prevalensi VTE juga tergantung pada umur individu dengan peningkatan 90 kali lipat pada anak-anak berusia <15 tahun  dan >80 tahun. Tingkat prevalensi juga dilaporkan lebih tinggi pada perempuan selama masa kanak-kanak dan laki-laki setelah usia 45 tahun.

Etiologi VTE bersifat multifaktorial, yaitu beberapa kondisi predisposisi dan peristiwa pemicu dapat secara kolektif berkontribusi dalam kemunculan bekuan darah dalam sistem vena. Kebanyakan kondisi predisposisi dan faktor risiko diklasifikasikan sebagai faktor genetik dan/atau diperoleh (acquired). Kondisi predisposisi perkembangan VTE dikenal secara luas sebagai trombofilia. Trombofilia merupakan kecenderungan yang dimiliki individu untuk mengembangkan kondisi VTE yang didasarkan oleh hiperkoagulasi dan disebabkan oleh kelainan koagulasi darah atau fibrinolisis secara bawaan dan/atau diperoleh.

 

Faktor Risiko Trombofilik Turunan

Trombofilia diturunkan melalui mutasi trombofilik ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Gen mutan tersebut merupakan mutasi dominan autosomal, di mana heterozigot (pembawa mutasi tunggal) memiliki risiko 50% mewariskan mutasi kepada keturunan mereka terlepas dari jenis kelamin. Homozigot akan meneruskan mutasi kepada keturunan setiap saat.Terdapat dua jenis mutasi trombofilik:

  • heterozigot – individu mewarisi mutasi dari satu orang tua. Hati menghasilkan campuran faktor normal dan faktor pembekuan aktif atau jumlahnya meningkat yang meningkatkan risiko trombosis.
  • homozigot – individu mewarisi mutasi yang sama dari kedua orang tuanya. Hati hanya menghasilkan faktor aktif dengan hasil yang lebih signifikan sehingga risiko trombosis sangat tinggi.

 

Defisiensi Antitrombin

Antithrombin (AT) atau kofaktor heparin adalah antikoagulan alami yang bersirkulasi dalam plasma pada konsentrasi sekitar 112-140 mg/L dengan waktu paruh sekitar 65 jam. Molekul AT adalah anggota dari superfamili inhibitor protease serin yang mengatur kaskade koagulasi dengan menetralkan trombin, FXa dan protease serin teraktivasi lainnya termasuk FVII, FIX, FXI, dan FXII. Aktivitas AT dapat dipercepat oleh heparin.

Defisiensi AT bawaan secara autosomal-dominan memiliki peningkatan risiko VTE sekitar 5-50 kali lipat, tetapi tidak terlalu meningkatkan risiko trombosis arteri. Defisiensi AT merupakan faktor risiko bawaan yang paling langka namun paling parah untuk kondisi trombosis. Defisiensi AT turunan disebabkan oleh mutasi pada gen SERPINC1. Hingga saat ini, lebih dari 250 variasi telah diidentifikasi sebagai penyebab defisiensi ini, termasuk mutasi missense dan nonsense, insersi, dan delesi. Maka dari itu, uji DNA umumnya bukan strategi diagnostik yang sesuai, namun defisiensi AT dapat dideteksi secara fenotipik dengan uji fungsional atau imun. Fenotipe defisiensi AT diklasifikasikan menjadi:

  • Tipe I (kuantitatif). Defisiensi AT tipe I ditandai dengan kadar AT fungsional dan antigenik yang sama rendahnya (sekitar 50% dari normal).
  • Tipe II (kualitatif). Defisiensi tipe II ditandai dengan kadar antigen normal tetapi aktivitas tidak berfungsi. Terdapat 3 jens telah didefinisikan: cacat situs reaktif (RS), cacat situs pengikatan heparin (HBS), dan cacat pleiotropik (disebabkan oleh mutasi yang berkelompok di wilayah s1C-s4B). 

Uji imun fungsional merupakan tes pilihan untuk skrining awal karena uji imun dirancang untuk mengukur jumlah protein terlepas dari aktivitasnya yang terganggu, sehingga sesuai untuk laboratorium diagnostik. Uji antigenik dapat dipertimbangkan untuk membedakan defisiensi tipe I dan tipe II secara berulang untung reprodusibilitas. Uji aktivitas AT yang tersedia secara komersial mengukur penghambatan AT FIIa atau FXa dengan adanya heparin dengan menggunakan metode amidolitik kromogenik. Metode antigenik dapat menggunakan ELISA dan imunoturbidimetri otomatis.

 

Defisiensi Protein C

Protein C adalah protein plasma bergantung-vitamin K yang disintesis di hati dan memiliki waktu paruh pendek sekitar 6 jam. Protein C bersirkulasi sebagai proenzim untuk protease serin antikoagulan dan diaktifkan oleh trombin yang terikat pada thrombomodulin protein membran endotel dan reseptor protein C endotel (EPCR). Protein C bekerja secara sinergis dengan protein S, dan dengan adanya ion kalsium dan fosfolipid berperan menonaktifkan FV dan FVIII dengan memutus ikatan bentuk aktifnya.

Individu heterozigot untuk defisiensi protein C memiliki 2-11 kali lipat peningkatan risiko VTE. Berbeda dengan defisiensi AT, defisiensi protein C dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko trombosis arteri pada individu di bawah dari 55 tahun. Defisiensi protein C telah dikaitkan mutasi gen protein C manusia (PROC) dan hingga ssaat ini terdapat 270 mutasi. Karena banyaknya mutasi tersebut, serupa dengan defisiensi AT, pengujian genetik bukanlah strategi diagnostik yang sesuai. Individu dengan defisiensi protein C heterozigot umumnya memiliki kadar protein C antara 35-65% dari nilai normal. Defisiensi protein C turunan yang parah diturunkan secara autosomal resesif yang dihubungkan dengan homozigositas atau heterozigositas majemuk untuk mutasi berbeda. Defisiensi protein C homozigot menyebabkan penurunan kadar protein C signifikan dan dapat menyebabkan purpura fulminans dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC) pada periode bayi pascanatal. 

Defisiensi protein C dapat dibagi menjadi dua subtipe utama:

  • Tipe I. Defisiensi tipe I adalah yang paling umum dan mengakibatkan defisiensi kuantitatif protein C. Defisiensi dalam uji fungsional maupun antigenik.
  • Tipe II. Defisiensi Tipe II dihasilkan dari protein C yang abnormal secara kualitatif (dengan kuantitatif normal). Defisiensi dengan kadar protein C antigenik normal.

Dengan demikian, uji fungsional harus digunakan sebagai uji skrining awal oleh laboratorium diagnostik. Jika terjadi penurunan kadar Protein C fungsional, uji antigenik dapat dilakukan untuk menentukan apakah defisiensi tersebut adalah Tipe I atau Tipe II. Namun, tidak jelas apakah penentuan tersebut ini memberikan manfaat diagnostik untuk pasien. 

Uji aktivitas yang tersedia secara komersial didasarkan waktu pembekuan (kemampuan APC untuk memperpanjang waktu pembekuan berbasis APTT atau racun Russell viper) atau kromogenik (kemampuan APC untuk membelah substrat sintetis dan membebaskan senyawa kromogenik yang dideteksi secara spektrofotometri). Metode yang direkomendasikan untuk skrining defisiensi protein C adalah uji kromogenik karena kurang rentan terhadap gangguan heparin, peningkatan FVIII, FV Leiden, lupus antikoagulan (LAC), dan penghambat trombin langsung, selain lebih akurat daripada berbasis bekuan. Antigen protein C dapat diukur dengan imunodifusi radial, imunoelektroforesis Laurell, dan ELISA (umum digunakan).

 

Defisiensi Protein S

Protein S adalah protein plasma yang juga bergantung-vitamin K. Protein ini bersirkulasi di  plasma dalam bentuk bebas atau terikat pada protein pengikat-C4b (C4BP) regulator komplemen. Dalam bentuk bebas, kompleks C4BP tidak aktif yang berkisar sekitar 40% dari total protein S. Bentuk bebas tersebut berfungsi sebagai kofaktor dalam sistem regulasi protein C. Protein S bebas mendorong pengikatan APC ke permukaan fosfolipid, sehingga mempercepat inaktivasi koagulasi FVa dan FVIIIa. Aktivitas antikoagulan protein S mungkin juga tidak bergantung pada APC, karena protein bertindak sebagai kofaktor penghambat jalur faktor jaringan (TFPI) dalam penghambatan FXa. Protein S juga secara langsung membatasi pembentukan trombin dengan mengikat dan menghambat FXa dan FVa pada kompleks protrombinase.

Protein S adalah glikoprotein yang dikodekan oleh gen PROS1 pada kromosom 3. Lebih dari 200 mutasi telah diidentifikasi hingga saat ini. Seperti defisiensi AT dan protein C, pengujian genetik untuk protein S juga tidak sesuai untuk diagnosis. Defisiensi protein S turunan biasanya terjadi sebagai defisiensi parsial (heterozigot) dan terpisah sebagai sifat dominan autosomal. Berdasarkan tingkat aktivitas antigen protein S dan kofaktor APC, defisiensi protein S diklasifikasikan menjadi tiga jenis:

  • tipe I : kadar antigen S total dan bebas protein rendah, aktivitas protein S menurun
  • tipe II : kadar antigen S total dan bebas protein normal, aktivitas protein S menurun 
  • tipe III : kadar antigen S total normal, kadar dan aktivitas antigen bebas menurun 

Defisiensi kuantitatif (tipe I/III) memiliki prevalensi hingga 95% dari semua defisiensi protein S.

Terdapat tiga jenis uji fenotipik dasar digunakan untuk menilai protein S dalam plasma: 

  1. uji aktivitas: mengevaluasi kemampuan protein S untuk berfungsi sebagai kofaktor untuk APC.
  2. uji antigen protein S bebas: mengukur (C4BP-) fraksi protein S yang tidak terikat dan dalam banyak kasus dapat digunakan sebagai marker pengganti untuk aktivitas protein S.
  3. uji antigen protein S total: menentukan fraksi bebas dan terikat protein S dalam plasma.

Setiap metode menyajikan beberapa kelemahan yang menyebabkan penafsiran sulit disimpulkan. Saat ini, pendekatan yang direkomendasikan yaitu didasarkan pada pengukuran protein S bebas.

 

Faktor V Leiden

FV adalah protein koagulasi yang bertindak sebagai kofaktor FXa dalam mengubah protrombin menjadi trombin. Aktivasi FV oleh trombin dicapai melalui serangkaian pembelahan proteolitik, sehingga prekursor FV rantai tunggal yang tidak aktif diubah menjadi FVa aktif dua rantai. Bentuk aktif FV rentan terhadap pembelahan dan inaktivasi oleh APC.

Gen pengkode FV diidentifikasikan sebagai F5 yang terletak pada kromosom pertama (1q23).

Mutasi paling umum pada gen FV yang menyebabkan munculnya FV Leiden. Mutasi ini adalah mutasi missense pada posisi 506, di mana arginin digantikan oleh glutamin (Arg506Gln). Dengan adanya mutasi titik ini, urutan asam amino tempat kerja APC diubah, sehingga membuat FV resisten terhadap degradasi. FV Leiden diinaktivasi pada kecepatan kira-kira sepuluh kali lebih lambat dari FV normal dan bertahan lebih lama dalam sirkulasi, menyebabkan peningkatan pembentukan trombin dan keadaan hiperkoagulasi ringan. FV Leiden diwariskan sebagai sifat dominan autosomal dan hampir secara eksklusif di antara individu kulit putih. Risiko trombosis vena meningkat dari 3-7 kali lipat pada heterozigot untuk FV Leiden, sedangkan pada homozigot risiko hingga 80 kali lipat. 

Diagnosis trombofilia faktor V Leiden dapat dilakukan dengan menggunakan uji skrining koagulasi atau dengan uji mutasi gen R506Q. Pengujian resistensi APC adalah tes koagulasi yang lebih sesuai untuk diagnosis FVL. Prinsip dasarnya adalah ketika ditambahkan ke plasma normal, APC menginaktivasi FVa dan FVIIIa sehingga memperlambat koagulasi dan memperpanjang APTT. Pengujian berbasis APTT generasi kedua yaitu pengenceran ke dalam plasma dengan defisiensi FV dan penambahan penetralisir heparin. Alternatif lain untuk uji berbasis APTT adalah uji berdasarkan metode RVVT.

 

Polimorfisme Protrombin G20210A

Protrombin yang dikenal juga sebagai FII adalah glikoprotein bergantung-vitamin K yang diaktifkan untuk membentuk trombin aktif. Trombin aktif tersebut kemudian bekerja pada fibrinogen untuk membentuk fibrin. Protrombin dikodekan oleh gen yang terletak pada kromosom 11p11-q1212 di daerah sentromer. Meskipun defisiensi protrombin yang diturunkan adalah salah satu gangguan perdarahan yang paling jarang, mempengaruhi sekitar 1 dari 2.000.000 individu. Peningkatan kadar protrombin secara genetik merupakan salah satu faktor risiko yang paling umum untuk trombosis. Gangguan bawaan itu hampir seluruhnya disebabkan oleh mutasi missense tunggal (guanin menjadi adenin; G > A) pada posisi nukleotida 20210. Mutasi ini tidak mempengaruhi struktur, namun menyebabkan peningkatan nilai protrombin kira-kira sepertiga di atas kisaran normal. Cacat bawaan ini ditransmisikan sebagai sifat resesif autosomal. Individu heterozigot untuk protein G20210A memiliki dua sampai empat kali lipat peningkatan risiko trombosis vena. Analisis DNA merupakan metode diagnostik sesuai untuk mendiagnosis mutasi protrombin G20210A.

 

Skrining untuk Trombofilia

Beberapa cara digunakan untuk mengidentifikasi trombofilia pada pasien. Beberapa parameter pemeriksaan  laboratorium termasuk skrining untuk polimorfisme terkait trombofilia, seperti FVL, PTG, faktor V H1299 R (faktor V HR2), faktor XIII V34 L, β-fibrinogen-455 G>A, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) 4G/5G, human platelet antigen-1 a/b, methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) C677 T, MTHFR A1298C, angiotensin-converting enzyme (ACE) I/D, apolipoprotein B R3500Q (Apo B), apolipoprotein E (Apo E) dan kadar homocysteine (Hcy) serum. 

Berikut merupakan kit komersial IVD dari Generi-Biotech yang digunakan untuk mendeteksi mutasi trombofilik pada individu:

No.Product NameCatalog NumberMethod
1.gb HEMO FII G20210Aallelic discrimination, real-time PCR
2.gb HEMO FV G1691Aallelic discrimination, real-time PCR
3.gb HEMO FXIII V34Lallelic discrimination, real-time PCR
4.gb HEMO MTHFR C677Tallelic discrimination, real-time PCR
5.gb HEMO MTHFR A1298Callelic discrimination, real-time PCR
6.gb HEMO PAI 4G/5Gallelic discrimination, real-time PCR
7.gb HEMO EPCR A4600Gallelic discrimination, real-time PCR
8.gb HEMO EPCR G4678Callelic discrimination, real-time PCR
9.gb HEMO GPIa C807Tallelic discrimination, real-time PCR
10.gb HEMO GPIIIaL33Pallelic discrimination, real-time PCR

 

Daftar Pustaka

Bezgin T, Kaymaz C, Akbal Ö, Yılmaz F, Tokgöz HC, Özdemir N. 2018. Thrombophilic Gene Mutations in Relation to Different Manifestations of Venous Thromboembolism: A Single Tertiary Center Study. Clin Appl Thromb Hemost. 24 (1) : 100-106. [link]

Madjunkova S, Volk M, Peterlin B, Plaseska-Karanfilska D. 2012. Detection of thrombophilic mutations related to spontaneous abortions by a multiplex SNaPshot method. Genet Test Mol Biomarkers. 16 (4) : 259-64. [link]

Montagnana M, Lippi G, Danese E. 2017. An Overview of Thrombophilia and Associated Laboratory Testing. in: Emmanuel J. Favaloro and Giuseppe Lippi (eds.), Hemostasis and Thrombosis: Methods and Protocols, Methods in Molecular Biology. Vol. 1646. Springer Science+Business Media LLC. pp 113-135.