Respons alergi awalnya dianggap sebagai respon imun sistemik abnormal terhadap antigen yang tidak berbahaya. Suatu respon alergi terhadap antigen pada makanan dapat dianggap sebagai respon imun mukosa yang abnormal. Besarnya reaksi alergi yang terlihat merupakan jumlah kumulatif reaksi yang diamplifikasi berkali-kali lipat. Imunitas mukosa terhadap alergen dianggap sebagai antitesis atau kebalikan dari respon imun sistemik spesifik tubuh.
Dalam lingkungan yang relatif bebas antigen, molekul-molekul protein asing, karbohidrat, atau lipid dikenali sebagai patogen potensial oleh tubuh. Area saluran mukosa gastrointestinal (GI) merupakan sistem yang memiliki toleransi tinggi terhadap paparan antigen dan bakteri secara konstan. Barrier mukosa GI terdiri dari mukosa, sel epitel, tight-junction, dan lamina propria (LP) yang mengandung Peyer’s patches (PP), limfosit, antigen-presenting macrophages, sel dendritik (DCs), dan sel T untuk melawan berbagai paparan tersebut. Barrier GI digunakan tubuh untuk toleransi sehingga alergi makanan tidak terjadi.
Jalur reaksi mukosa memungkinkan antigen/organisme yang tidak berbahaya dapat ditoleransi. Terjadinya kegagalan dalam mentoleransi antigen makanan adalah masalah utama dari berbagai gangguan usus (misalnya, penyakit celiac dan gluten, radang usus, dan dari komensal normal gastrointestinal). Penurunan pH merupakan salah satu penyebab alergi pada makan, misalnya pada penelitian mencit yang menunjukkan bahwa pemberian antasida menyebabkan penurunan toleransi mukosa oral sehingga dapat mempengaruhi alergi makanan pada seseorang.
Alergi makanan mencakup berbagai disorder yang disebabkan oleh respon imun terhadap antigen makanan. Kelompok kondisi ini meliputi alergi akut, potensi fatal, dan penyakit kronis yang terutama mempengaruhi kulit dan GI. Alergi makanan dapat dibagi menjadi:
(1) reaksi dimediasi imunoglobulin E (IgE) (alergi makanan sejati),
(2) disorder campuran dimediasi IgE dan non-IgE, dan
(3) penyakit yang tidak dimediasi IgE.
Disorder dimediasi IgE dapat diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitivitas GI langsung atau sindrom alergi oral (OAS). Sindrom hipersensitivitas langsung adalah disorder yang biasanya melibatkan kulit, saluran respirasi, GI, ataupun reaksi umum seperti anafilaksis. Pada sebagian besar orang, antibodi IgE spesifik makanan dapat diukur bersamaan dengan uji kulit dengan tujuan mengkonfirmasi pola reaksi dimediasi IgE tersebut. OAS adalah bentuk alergi yang dimediasi IgE berdasarkan paparan antigen makanan dengan permukaan mukosa dan jarang melibatkan sistem organ lain. Gejala alergi makanan jenis ini umumnya hanya terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah makanan tertelan.
Penyakit GI yang tidak dimediasi IgE sering berupa enteropati, enterokolitis protein dan penyakit celiac. Penyakit celiac ditandai dengan atrofi vili, hiperplasia kripta, peningkatan limfosit intraepitel, dan infiltrat inflamasi gabungan. Enterokolitis dan enteropati protein diet biasanya disebabkan oleh susu sapi atau protein kedelai yang menyebabkan cedera intestinum kecil dan/atau besar dengan asosiasi atrofi dan peradangan vili nonspesifik.
Disorder gabungan IgE dan non-IgE meliputi berbagai penyakit gastroenteropathy eosinofilik, misalnya proktokolitis eosinofilik, gastroenteritis eosinofilik, dan esofagitis eosinofilik. Penyakit ini ditandai dengan infiltrasi saluran GI dengan eosinofil tanpa sel inflamasi lainnya.
Protein alergen adalah protein yang memiliki potensi untuk memicu respon imun terpolarisasi Th2 yang penting untuk eliminasi parasit ekstraseluler dan infeksi bakteri. Protein alergen hanya diklasifikasikan ke dalam sedikit kelompok famili protein saja. Protein alergen mampu memodulasi komunikasi antara sel imun bawaan dan adaptif dengan berinteraksi dengan reseptor yang menghasilkan polarisasi Th2 dari respons imun adaptif.
Hipotesis toksin alergi yang terbaru mampu memberikan pemahaman alternatif mengapa IgE secara spesifik menargetkan protein tertentu saja. Alasan mengapa sedikit orang terpapar alergen yang dapat memunculkan respons IgE kemungkinan besar berawal dengan cara sinyal yang masuk diproses secara selular. Contohnya, sel dendritik (DC) dari orang alergis dan non-alergis terhadap pollen birch menunjukkan perbedaan jalur transduksi sinyal meskipun tidak secara pasti apakah berhubungan dengan reaksi terhadap alergen makanan. Protein dari biji tanaman superfamili cupin dan prolamin memiliki kapasitas untuk merusak sel, yang dapat memicu peringatan bahaya pada sel imun bawaan.
Protein alergen tidak muncul tiba-tiba dalam aspek protein, tetapi merupakan hasil dari proses pembentukan panjang untuk struktur protein yang dianggap sebagai alergen oleh sistem imun pada beberapa individu. Alergen mempengaruhi respons imun dengan berinteraksi dengan reseptor imun bawaan. Protein allergen hanya ditemukan pada sejumlah kecil keluarga protein dengan karakteristik struktur 3D atau scaffold.
Superfamili protein yang mengandung alergen yang paling banyak adalah superfamili prolamin yang diperkirakan muncul setelah tubuhan mencapai daratan. Kebanyakan anggota superfamili prolamin sepertinya hanya terbatas pada biji tanaman dikotil saja. Alergenisitas protein tampaknya berkaitan dengan ciri struktural tertentu dari molekul protein tertentu. Secara umum, dalam suatu keluarga protein, alergen hanya mewakili sebagian kecil dari anggota famili tersebut. Berdasarkan urutan asam amino yang serupa dan struktur 3D, protein dapat diklasifikasikan ke dalam famili menggunakan metode bioinformatika yang menjadi dasar dari beberapa database famili protein. Sekitar 60% dari protein tumbuhan termasuk dalam keluarga protein alergen, yaitu prolamin, cupin, Bet v related-1, dan profilin. Protein alergen makanan hewani dapat diklasifikasikan menjadi tiga keluarga utama, yaitu domain EF-hand, tropomiosin, dan kasein.
Pada reaksi hipersensitivitas langsung, gejala mulai muncul dalam beberapa menit hingga satu jam atau lebih setelah mengingesti makanan yang memicu pembentukan antibodi IgE spesifik alergen. Pada reaksi hipersensitivitas tertunda, gejala tidak akan mulai muncul sampai 24 jam atau lebih setelah konsumsi makanan memicu perkembangan sel T yang tersensitisasi.
Respon alergi, atau hipersensitivitas, adalah proses dua tahap:
Untuk menginisiasi reaksi alergi, alergen harus mencapai sistem imun melalui GIT, yaitu permukaan mukosa. Setelah paparan primer, alergen akan ditangkap oleh APC (antigen-presenting cell), terutama oleh sel dendritik (DC) di lamina propria usus. Alergen kemudian diinternalisasi oleh DC atau penggabungan beberapa mikrovesikel yang dilepaskan dari sel disekitarnya. Pendeteksian alergen dilakukan oleh ubiquitin sebagai sinyal awal untuk degradasi protein alergen tersebut. Alergen-ubiquitin tersebut akan ditransportasikan ke ke kompleks proteosomal untuk didegradasi menjadi fragmen peptida. Fragmen peptida akan diperkenalkan oleh major histocompatibility complex class-II (MHC-II) dan selanjutnya dikenali oleh sel T CD4+ natif.
Sel T helper (sel Th) atau sel T CD4+ dikelompokkan menjadi dua kelas besar berdasarkan jenis sitokin yang mereka hasilkan, yaitu Th1 dan Th2. Sel Th berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan adanya interleukin 4 (IL-4). Sel Th2 mensekresikan sitokin IL-4 dan IL-13 yang menginduksi class switching ke IgE. Inisiasi sintesis IgE oleh sel B membutuhkan sinyal dari sel T. Dua sinyal diperlukan sel B untuk membuat switch isotipe untuk mensintesis IgE.
Sinyal aktivasi sel B dan class switching ke IgE terutamanya diinduksi oleh:
Kedua sinyal tersebut ditransduksikan melalui aktivitas famili protein Janus tirosin kinase (JAK)1 dan JAK3 yang akhirnya menyebabkan signal transducer and activator of transcription (STAT)6. Interaksi ini mengaktifkan rekombinasi switch delesi dan mendekatkan semua elemen rantai ε-berat fungsional.
Pada tahap pertama perkembangan reaksi alergi makanan, molekul IgE dibentuk oleh sel B. Molekul IgE disirkulasikan secara sistemik hingga mencapai sel efektor alergi, yaitu basofil dan sel mast. Sel-sel efektor membawa reseptor IgE afinitas tinggi berikatan silang dengan alergen, yang kemudian membentuk antibodi dalam proses yang disebut sensitisasi. Proses ini melepaskan mediator reaksi alergi, antara lain histamin, prostaglandin, leukotrien, dan zat aktif lainnya. Dengan demikian, reaksi alergi akan mengaktifkan sel mast dan melepaskan mediator inflamasi sel mast yang telah terbentuk sebelumnya seperti histamin dan triptase, serta sintesis dan pelepasan mediator lipid dan sitokin yang baru. Beberapa jam setelah pelepasan mediator reaksi alergi, sel efektor akan mulai mensekresi sitokin, IL-4 dan IL-13.
Beberapa mediator yang disekresikan oleh basofil atau degranulasi sel mast, antara lain prostaglandin, sitokin, leukotrien, histamin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A), heparin, platelet activation factor (PAF), eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis, enzim proteolitik, dan mediator lainnya. Mediator-mediator tersebut dapat menyebabkan pelebaran otot polos, gangguan kapiler, pembengkakan lokal, dan gejala alergi lainnya. Pada beberapa kasus, reaksi ini dapat menyebabkan anafilaksis hingga kematian.
Respon imun alergi makanan mempengaruhi sekitar 5% anak-anak dan 3-4% orang dewasa di negara-negara barat. Selain gejala gastrointestinal, individu dengan alergi makanan dapat mengalami urtikaria, angioedema, dermatitis atopik, sindrom oral, asma, rhinitis, konjungtivitis, hipotensi, syok, dan aritmia jantung yang disebabkan oleh pelepasan mediator dengan jumlah besar dari sel efektor (sel mast, dan basofil).
Faktor genetik dan lingkungan adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan alergi makanan. Pada individu dengan alergi makanan, IgE akan diproduksi untuk melawan komponen makanan alami, khususnya melawan protein dan glikoprotein yang masih memiliki alergenisitas setelah pemanasan dan/atau proteolisis. Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) mencanangkan beberapa makan seperti susu, kerang, telur, ikan, kacang tanah, kedelai, kacang, dan gandum sebagai sumber alergi utama. Beberapa makanan juga dikategorikan sebagai alergen makanan baru, misalnya buah-buahan tropis, biji wijen, rempah-rempah, dan bumbu-bumbuan.
Alat untuk diagnosis dan manajemen alergi makanan tidak banyak berubah dalam dua dekade terakhir ini, seperti riwayat klinis, pemeriksaan fisik, tes antibodi IgE spesifik terhadap makanan, diet eliminasi, tantangan makanan oral, dan penyediaan obat. Untuk mendeteksi IgE spesifik makanan, tes in vivo, ex vivo, dan in vitro digunakan oleh berbagai spesialis alergi. Tes ini mendeteksi sensitisasi adanya IgE spesifik makanan, tetapi karena sensitisasi dapat terjadi tanpa reaksi klinis, tes umumnya tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis alergi makanan tanpa mempertimbangkan riwayat klinis.
In vivo tests. In vivo detection includes skin prick tests (SPT) and oral food challenges (OFC). For in vivo testing by SPT, the patient should avoid taking medication, i.e. antihistamines for an appropriate length of time prior to testing. With a device such as a lancet, a prick is made through a commercial extract of a food into the epidermis. This allows the test protein to interact with food-specific IgE on the surface of skin mast cells. If the food-specific IgE antibody is present, mast cells degranulate and release mediators that cause localized wheal and flare.
Deteksi in vivo termasuk tes tusuk kulit atau skin prick tests (SPT) dan tantangan makanan oral (OFC). Dengan alat seperti lanset, tusukan dibuat melalui ekstrak komersial makanan ke dalam epidermis. Hal ini memungkinkan protein uji untuk berinteraksi dengan IgE spesifik makanan pada permukaan sel mast di kulit. Jika antibodi IgE spesifik makanan ada, sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediator yang menyebabkan pembenjolan dan kemerahan.
Studi in vitro untuk menentukan reaktivitas alergen meliputi pengukuran IgE serum menggunakan tes radio-allergosorbent test (RAST), enzyme-allergosorbent test (EAST), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), ImmunoCAP assay, dan imunobloting. Dengan RAST, EAST, dan ELISA, beberapa sampel dapat diuji sekaligus. Namun, perbedaan fase padat dan preparasi sampel di antara analis, standardisasi metode menjadi masalah utama. Meskipun dengan biaya tinggi, tes ImmunoCAP telah menyediakan pengujian dengan sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan RAST, EAST, dan ELISA dengan meminimalkan ikatan non-spesifik oleh antibodi non-IgE-binding.
Metode yang paling populer untuk mendeteksi alergen pada tingkat protein adalah metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), biosensor, dan metode berbasis antibodi. Metode berbasis DNA termasuk polymerase chain reaction (PCR), dengan real-time PCR memberikan hasil kuantitatif untuk potensi kehadiran alergen. Pengujian ELISA atau fluorochromes (fluorescence immunoassay) dikembangkan menggantikan radioisotop. Saat ini, teknologi chemiluminescence juga telah digunakan dalam upaya untuk meningkatkan sensitivitas. Immunoassay semacam itu bisa sangat sensitif dan spesifik dan oleh karena itu biasanya digunakan untuk berbagai macam pengukuran baik dalam penelitian maupun di laboratorium analitik.
ELISA adalah gold standard dan metode yang paling banyak diterapkan untuk deteksi alergen makanan dengan menyediakan desain eksperimental sederhana dengan sensitivitas yang sesuai dalam matriks sampel beragam. ELISA telah menjadi metode pilihan bagi produsen makanan dan kontrol kualitas untuk analisis rutin terhadap kontaminasi alergen makanan. Selain sensitivitas yang tinggi, ELISA juga relatif murah dan mudah dilakukan. Dua format ELISA dapat dikembangkan: kompetitif (langsung) dan sandwich.
Semua format ELISA dan dipstick umumnya telah digunakan dalam analisis makanan. Kit Rapid ELISA dengan hasil kualitatif dan/atau semikuantitatif dalam waktu 30-60 menit juga telah dikomersialisasikan untuk makanan seperti susu, kedelai, kacang tanah, hazelnut, almond, telur, krustasea, dan makanan lainnya. Dibandingkan dengan ELISA, metode dipstick kurang melelahkan dan lebih cepat meskipun tidak diperuntukkan untuk uji kuantitatif alergen. Karena ELISA dapat terpengaruh oleh cross-reactivity dan efek pemrosesan makanan dan/atau epitop protein, hasil ELISA dapat dikonfirmasi dengan teknik seperti PCR atau MS, untuk menguatkan data dan meningkatkan spesifisitas deteksi.
Berikut pengujian ELISA untuk klinis atau skala industri makanan dalam deteksi marker alergi makanan:
Deskripsi | Katalog | Ukuran | Grade | Pengukuran |
---|---|---|---|---|
AccuDiag™ Total Human IgE ELISA Kit | 1801-16 | 96 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Total Human IgE ELISA Kit (Min 5 kits) | 1801-18 | 96 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Human Specific IgG 88 Food Allergens ELISA Kit | 5154-8 | 96 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Human Specific IgG4 88 Food Allergens ELISA Kit | 5155-8 | 96 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Human Specific IgE (20 Seasonal Allergens) ELISA Kit | 5150-8 | 16 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Human Specific IgE (20 Atopic Allergens) ELISA Kit | 5151-8 | 16 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Human Specific IgE (20 Food Allergens) ELISA Kit | 5152-8 | 16 | IVD | Kuantitatif |
AccuDiag™ Human Specific IgE (20 Perennial Allergens) ELISA Kit | 5153-8 | 16 | IVD | Kuantitatif |
Tabel 1. Kit ELISA Cortez Diagnostic untuk deteksi alergi kebutuhan klinis.
Deskripsi | Katalog | Grade | Ukuran | Sensitivitas |
---|---|---|---|---|
Peanut ELISA Kit | EKT-PN20 | Food | 48/96 | 1-40 mg/kg (μg/100cm²) |
Sesame ELISA Kit | EKT-SE20 | Food | 48/96 | 2-30 mg/kg (μg/100cm²) |
Soy ELISA Kit | EKT-S050 | Food | 48/96 | 40-1000 μg/kg (ng/100cm²) |
Lupine ELISA Kit | EKT-LU10 | Food | 48/96 | 2-30 mg/kg (μg/100cm²) |
Gluten/Gliadin ELISA Kit | EKT-GL30 | Food | 48/96 | 2-30 mg/kg (μg/100cm²) |
Buckwheat ELISA Kit | EKT-BW30 | Food | 48/96 | N/A |
Almond ELISA Kit | EKT-A10 | Food | 48/96 | 0.2-2 mg/kg (μg/100cm²) |
Cashew ELISA Kit | EKT-CA70 | Food | 48/96 | 0.2-2 mg/kg (μg/100cm²) |
Hazelnut ELISA Kit | EKT-H110 | Food | 48/96 | 1-40 mg/kg (μg/100cm²) |
Pecan Nut ELISA Kit | EKT-PC20 | Food | 48/96 | 2-30 mg/kg (μg/100cm²) |
Pistachio ELISA Kit | EKT-PT20 | Food | 48/96 | 2-30 mg/kg (μg/100cm²) |
Brazil Nut ELISA Kit | EKT-BN10 | Food | 48/96 | 0-40 mg/kg (μg/100cm²) |
Macadamia Nut ELISA Kit | EKT-MN10 | Food | 48/96 | 0-40mg/kg (μg/100cm²) |
Walnut ELISA Kit | EKT-WA20 | Food | 48/96 | 2-60 mg/kg (μg/100cm²) |
Coconut ELISA Kit | EKT-CN10 | Food | 48/96 | 0-30 mg/kg (μg/100cm²) |
β-Lactoglobulin (Bovine milk) ELISA Kit | EKT-L60 | Food | 48/96 | 10-4000μg/kg (ng/100cm²) |
Casein (Bovine milk) ELISA Kit | EKT-CA61 | Food | 48/96 | 0.2-6 mg/kg (μg/100cm²) |
Milk (Casein/β-Lactoglobulin) ELISA Kit | EKT-ML60 | Food | 48/96 | 0.4-10 mg/kg (μg/100cm²) |
Egg White (Ovomucoid) ELISA Kit | EKT-E40 | Food | 48/96 | 0.4-10 mg/kg (μg/100cm²) |
Ovalbumin ELISA Kit | EKT-OV20 | Food | 48/96 | 25-500 μg/kg (ng/100cm²) |
Lysozyme ELISA Kit | EKT-LY20 | Food | 48/96 | 25-250 μg/kg (ng/100cm²) |
Celery ELISA Kit | EKT-C80 | Food | 48/96 | N/A |
Fish (Parvalbumin) ELISA Kit | EKT-F40 | Food | 48/96 | N/A |
Crustaceans Tropomyosin ELISA Kit | EKT-CR90 | Food | 48/96 | 0-30 mg/kg (μg/100cm²) |
Histamine ELISA Kit | EKT-HI20 | Food | 48/96 | 5-500 μg/kg (ng/100cm²) |
Mustard ELISA Kit | EKT-MU20 | Food | 48/96 | 2-60 mg/kg (μg/100cm²) |
Tabel 2. Kit ELISA PriboFast® Food Allergen deteksi alergi makan untuk skala industri.
Deskripsi | Katalog | Grade | Ukuran | Rentangan Kuantifikasi |
---|---|---|---|---|
Peanut Rapid Test Strip | PRS-A20 | Food | 10/20 | 0.1 mg/kg (0.05 μg/100cm²) |
Gluten/Gliadin Rapid Test Strip | PRS-A30 | Food | 10/20 | 2 mg/kg (1 μg/100cm²) |
Egg Rapid Test Strip | PRS-A40 | Food | 10/20 | 0.1 mg/kg (0.05 μg/100cm²) |
Soy Rapid Test Strip | PRS-A50 | Food | 10/20 | 1 mg/kg (0.5 μg/100cm²) |
Casein (Bovine milk) Rapid Test Strip | PRS-A60 | Food | 10/20 | 10 mg/kg (5 μg/100cm²) |
Buckwheat Rapid Test Strip | PRS-A70 | Food | 10/20 | 0.1 mg/kg (0.05 μg/100cm²) |
Crustaceans Rapid Test Strip | PRS-A80 | Food | 10/20 | 0.1 mg/kg (0.05 μg/100cm²) |
Fish Rapid Test Strip | PRS-A90 | Food | 10/20 | 0.01 mg/kg (0.005 μg/100cm²) |
Mango Rapid Test Strip | PRS-A100 | Food | 10/20 | 2 mg/kg/ (1 μg/100cm²) |
Hazelnut Rapid Test Strip | PRS-H110 | Food | 10/20 | 0.25 mg/kg(0.125μg/100cm²) |
Casein (Bovine milk) Rapid Test Strip Family Pack | PRS-A60-JT | Food | 4 | 10 mg/kg |
Fish Rapid Test Strip Family Pack | PRS-A90-JT | Food | 4 | 0.01 mg/kg |
Tabel 3. Kit PriboFast® Food Allergen Rapid Test Strips deteksi alergi makan untuk skala industri.