Prinsip dan Metode Kultur Sel Serangga

Prinsip dan Metode Kultur Sel Serangga

Prinsip dan Metode Kultur Sel Serangga

Kultur sel adalah proses mengisolasi sel dari jaringan hewan dan menumbuhkannya dengan sukses dalam medium kultur buatan. Cell line telah banyak digunakan untuk penelitian yang bertujuan mengisolasi dan membudidayakan patogen, skrining penemuan obat, menemukan jalur metabolisme, memproduksi antigen, sebagai subjek untuk transfeksi dan ekspresi gen, serta mempelajari regulasi ekspresi gen dan mekanisme awal evolusi sitotoksisitas yang dimediasi sel, apoptosis, penuaan sel dan banyak lagi. Serangga merupakan salah satu sumber cell line yang banyak dicari. Arthropoda, khususnya yang bukan termasuk krustasea bersama dengan semua kelas vertebrata-telah terbukti menjadi sumber cell line yang bermanfaat; pembuatan cell line fibroblastoid. Upaya untuk memperoleh cell line dari krustasea (kepiting, udang, udang galah, dan kerabatnya) dan invertebrata non arthropoda jarang berhasil. Oleh karena itu, semakin banyak reagen, protokol dan gagasan yang tersedia untuk transfeksi cell serangga.

Pendahuluan

Upaya pertama untuk membiakkan sel serangga secara in vitro dilakukan oleh Goldschmidt, yang pada tahun 1915 membiakkan sel folikel dari gonad pupa jantan Hyalophora cecropia (Saturniidae: Lepidoptera) dalam hemolimfa serangga yang sama.Pada tahun 1935, William Trager adalah orang pertama yang berhasil membudidayakan baculovirus dalam kultur sel ovarium primer larva Bombyx mori (Bombycidae: Lepidoptera) dan mempublikasi penelitiannya. Para peneliti pun mulai mengoptimasi bahan atau medium kultur. Dimulai dengan Trager yang menggunakan 6 bahan, Silver Wyatt menambahkan bahan dalam mediumnya yaitu garam anorganik, gula, asam organik dan asam amino dengan total 34 bahan. Thomas Grace memodifikasi medium yang telah dibuat oleh Wyatt dengan menambahkan vitamin, mengatur rasio ion Na/K dan Ca/Mg, mengubah tekanan osmotik dan pH. Dengan menggunakan medium ini, ia berhasil membuat cell line dari jaringan ovarium B. mori, Antheraea eucalypti, dan jaringan larva Aedes aegypti (Culicidae: Diptera). Selanjutnya, beberapa peneliti mencoba memodifikasi medium sebelumnya berdasarkan kebutuhan mereka. Dengan tersedianya medium yang sesuai untuk membudidayakan sel serangga, kultur sel serangga berkembang dari sekadar menumbuhka sel line hingga mengembangkan protein rekombinan dan vaksin dari sel serangga yang dikultur.

Secara alami serangga terinfeksi baculovirus (BEVS) dan para ilmuwan mulai menggunakan baculovirus ini dalam kultur sel serangga untuk mempelajari infeksinya pada serangga dan memanfaatkannya untuk mengekspresikan protein rekombinan heterolog dalam kultur sel serangga. Sejak saat itu, sistem ekspresi baculovirus (BEVS) digunakan untuk menghasilkan protein rekombinan dalam sel serangga. BEVS ini sekarang digunakan untuk memproduksi vaksin langsung dari vaksin kandidat HIV pertama di dunia dan vaksin lain yang sedang dikembangkan menggunakan sel kultur (High five) dari Trichoplusia ni (Noctuidae: Lepidoptera) hingga vaksin untuk virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dan variannya seperti Omicron juga dari sel kultur (sel Sf9) Spodoptera frugiperda (Smith) (Noctuidae: Lepidoptera).

Jenis-jenis kultur sel serangga

Dua teknik utama untuk mengembangkan sel dalam kultur adalah bergantung pada substrat buatan (kultur monolayer/adheren) dan mengambang bebas dalam media kultur (kultur suspensi).

Gambar 1. Sf9 Cell line

Gambar 1. Sf9 Cell line

Kultur Monolayer/Adheren

Kultur sel monolayer atau adheren adalah cell line yang bergantung pada substrat dan dikultur saat melekat pada substrat. Kultur ini cocok untuk sebagian besar jenis sel, termasuk kultur primer, dan memungkinkan pengamatan visual yang mudah dengan mikroskop inverted. Disosiasi enzimatik atau mekanis digunakan untuk memisahkan sel. Luas permukaan membatasi pertumbuhan, yang membatasi hasil produk dan memerlukan wadah khusus kultur (TC-treated). Jenis kultur digunakan untuk sitologi, produksi berkelanjutan, dan banyak aplikasi penelitian lainnya.

Kultur Suspensi

Kultur suspensi adalah kultur yang bebas di mana perkembangbiakan agregat kecil sel atau sel tunggal terjadi dalam keadaan tersuspensi dalam media cair yang teragitasi. Cocok untuk sel yang diaklimatisasi dengan kultur suspensi serta beberapa jenis sel non-adhesive lainnya (sel hematopoietik). Proses pertumbuhannya lebih mudah, tetapi diperlukan mengetahui jumlah sel harian dan penentuan viabilitas untuk mengetahui pola pertumbuhan; kultur dapat didilusi untuk mempercepat pertumbuhan. Jenis sel ini tidak memerlukan disosiasi enzimatik atau mekanis. Konsentrasi sel dalam medium membatasi pertumbuhannya, sehingga memungkinkan peningkatan skala yang efisien. Kultur ini dapat ditumbuhkan dalam wadah non-tissue-culture-treated, namun memerlukan pengadukan agar dapat pertukaran gas yang cukup. Kultur ini digunakan untuk produksi protein massal, pemanenan batch, dan aplikasi penelitian lainnya.

Medium Kultur Sel Serangga

Kultur sel serangga digunakan secara komersial karena kepraktisannya, dan pada kenyataannya, telah menjadi komponen penting dari bioteknologi modern. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kualitas medium yang lebih baik untuk mendukung pertumbuhan sel. Berbagai jenis media kultur sel serangga tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Berbagai jenis media kultur sel serangga

Medium Formulasi Referensi
Medium Konvensional
Wyatt’s medium Media terdiri dari konsentrasi tinggi asam organik, asam amino, garam anorganik dan gula yang dilengkapi dengan hemolimfa yang telah mengalami perlakuan panas. Wyatt et al. (1956)
Grace medium Medium terdiri dari 21 asam amino, empat asam organik (intermediet siklus Krebs), 10 vitamin, 2 antibiotik, 6 garam, 3 gula, dan plasma serangga. Grace (1962)
MM insect culture medium Medium hanya terdiri dari 6 garam, yeastolat, fetal bovine serum (FBS), lactalbumin hidrolisat, glukosa, dan antibiotik. Mitsuhashi (1964)
Hink’s TNM-MH medium Medium terdiri dari laktalbumin, yeastolat sebagai sumber vitamin (B-kompleks), dan hemolimfa dengan heat-inactivated fetal bovine serum. Hink (1970)
BML-TC/10 Medium terdiri dari glukosa (hanya gula heksosa), fetal bovine serum dan ekstrak triptosa. Schlaeger (1996)
IPL-41 medium Medium terdiri dari penambahan konsentrasi asam amino, vitamin dan protein hidrolisat (laktalbumin, kaldu triptosa fosfat, yeastolat). Goodwin (1975)
Medium Serum Free
ISFM medium Medium dasar IPL-41, ditambahkan yeastolat ultrafilter (4g1−1) dan emulsi lipid kompleks. Inlow et al. (1989)
Ex-Cell-400 medium Merupakan medium semi, dengan atau pengurangan protein 15 mg/m1−1 Belisle et al. (1992)
ExCeU 401 medium Medium tanpa protein yang memungkinkan kepadatan sel lebih tinggi dan hasil protein rekombinan yang lebih tinggi. Schlaeger (1996)
Sf 900 medium Medium dengan kandungan protein rendah Weiss et al. (1992)

Secara konvensional medium kultur serangga telah banyak diperjualbelikan dengan basis penelitian, medium yang disediakan Elabscience menjadi pilihan yang tepat dalam pengembangan sel kultur serangga. Berikut merupakan Medium kultur sel serangga dari Elabscience (Tabel 2).

Tabel 2. Medium Kultur Sel Serangga dari Elabscience

No. Katalog Deskripsi Formulasi Volume
PM152011 Grace’s medium for insect Cells Dengan:
600 mg/L L-Glutamine700 mg/L D-Glucose350 mg/L NaHCO3Tanpa:HEPESPhenol Red

Sodium Pyruvate

Lactalbumin Hydrolysate

500mL
PM152012 Grace’s supplement medium for insect Cells Dengan:

600 mg/L L-Glutamine

700 mg/L D-Glucose

350 mg/L NaHCO3

3303 mg/L Hydrolyze milk protein

3330 mg/L Yeast

 

Tanpa:

HEPES

Phenol Red

Sodium Pyruvate

500mL
PM152010 TNM-FH medium for insect Cells Dengan:
700 mg/L D-Glucose600 mg/L L-Glutamine350 mg/L NaHCO3Tanpa:HEPESSodium Pyruvate

Phenol Red

500mL
PM152013 TNM-FH medium for insect Cells (Glucose free) Dengan:

3333.3 mg/L Lactalbumin Hydrolysate

3333.3 mg/L Liquid Yeast Autolysate

 

Tanpa:

D(-)-Fructose

D(+)-Sucrose

500mL
CM-0205 Sf9 Cell Complete Medium Dengan:
TNM-FH(PM152010)Nutrients
125mL×4

Medium Konvensional

Mengembangbiakan kultur sel serangga secara in-vitro memerlukan lingkungan seperti aslinya. Sehingga memerlukan medium pertumbuhan awal yang berisi vitamin, asam amino, karbohidrat, dan garam yang dilengkapi dengan suplemen seperti serum atau hemolimfa yang disebut juga sebagai medium konvensional.

Medium Kultur Sel Serangga Serum-free

Dengan mengganti serum dengan komposisi nutrisi dan hormon yang sesuai, medium bebas serum (SFM) menjadi alternatif penggunaan tanpa adanya unsur hewan. Banyak Kultur primer, cell line, sel penghasil protein rekombinan, sejumlah cell line  hibridoma, sel serangga Sf9 dan Sf21 dari Spodoptera frugiperda (Noctuidae: Lepidoptera), dan cell line yang bertindak sebagai inang virus (VERO, MDCK, MDBK), dan lainnya, memiliki formulasi medium bebas serum. Salah satu keuntungan paling signifikan dari penggunaan medium bebas serum adalah fleksibilitas dalam pembuatan medium untuk jenis sel tertentu dengan memilih growth factor yang tepat.

Serum memiliki kelemahan diantaranya, biaya tinggi, risiko mikoplasma atau kontaminasi, pengulangan antar-batch yang rendah, komposisi yang tidak terdefinisi dengan baik, dan tantangan dalam proses downstream. Hal ini menyebabkan terciptanya medium kultur sel serangga bebas serum, yang terbukti sangat berguna dalam produksi skala besar. Konsentrasi serum yang rendah memiliki efek yang cukup untuk mendorong pertumbuhan, menurunkan biaya total, melindungi sel dari stres sampai batas tertentu, dan melindungi protein rekombinan dari serangan proteolitik.

Beberapa medium untuk kultur sel serangga, seperti Ex-Cell 401, Ex-Cell 405, Ex-Cell 420, Express Five, dan SF900-II, sekarang tersedia secara komersial dan digunakan secara luas. Sementara itu, intervensi perusahaan biokimia dalam kultur sel serangga telah menyebabkan peningkatan jumlah medium komersial bebas serum. Berikut merupakan daftar medium kultur sel serangga bebas serum (seringkali bebas protein) yang paling banyak ditemui saat ini (Tabel 3).

Tabel 3. Medium Serum-Free untuk Kultur Sel Serangga

Perusahaan Medium Cell Line Serangga
Allele Biotech SFICM (Sapphire™) Sf9, Sf21, Tn5
Applichem AC Insect Sf9, Tn5
BD Biosciences Max-XP (BD BaculoGold™) Sf9, Sf21
Biochrom AG Insectomed SF Express Sf9, Sf21, Tn5
Biological Industries BIOINSECT-1 Sf9, Tn5
Corning Insectagro Sf9™ Sf9, Sf21
Cosmo Bio COSMEDIUM 009 Sf9
Expression Systems ESF 921 Sf9, Sf21, Tn5
Expression Systems ESF AF Sf9, Sf21, Tn5
Irvine Scientific IS BAC™ Sf9, Sf21, Tn5
Kohjin Bio KBM710 Sf9
Life Technologies Sf-900™ II Sf9, Sf21, Ld, Tn368,
Life Technologies Sf-900™ III Sf9, Sf21
Life Technologies Express Five ® Tn5
Lonza Insect-XPRESS™ Sf9, Sf21
Merck Millipore Tri-Ex™ Sf9
MP Biomedicals SFPFIM Sf9, Tn5
Oxford Expression Tech baculoGROW™ Sf9, Sf21, Tn5
Sigma-Aldrich EX-CELL™ 420 Sf9, Sf21
Sigma-Aldrich EX-CELL™ 405 Tn5
Sigma-Aldrich TiterHigh™ Sf Sf9, Sf21
Thermo Scientific SFM4-Insect™ (HyClone ®) Sf9, Sf21, Tn5
Thermo Scientific SFX-Insect™ (HyClone ®) Sf9, Sf21, Tn5
GENTAUR MED-10002 Sf9, Sf21, Tn368, Tn5
GIBCO™ Invitrogen Corporation Express Five™ Tn5
Hyclone HyQ CCM3™ Sf9
MERCK Biosciences BacVector™ Sf9

Hal apa saja yang perlu disiapkan dalam Kultur Sel Serangga?

Pada dasarnya dalam mempersiapkan kultur sel serangga maupun sel mamalia sama saja. Hal yang perlu diperhatikan dalam persiapannya yaitu membangun Laboratorium kultur sel dengan perlengkapan penting lainnya. Alat yang perlu disiapkan diantaranya, laminar flow hood khusus kultur sel, reagen steril, mikroskop inverted dengan perbesaran 10× (or 20×) dan 40×, seperangkat pipet, refrigerated incubator dengan suhu 24–28°C, autoclave, dan pembersih udara UV.

Pemilihan medium yang tepat yaitu mengandung karbohidrat, asam amino, dan garam pada konsentrasi yang disesuaikan dengan metabolisme sel serangga merupakan hal sangat penting dalam mengembangkan kultur sel ini. Medium untuk kultur sel serangga biasanya lebih asam (pH: 6,2 hingga 6,9) dan larutan penyangga dengan natrium fosfat; tekanan osmotik juga lebih tinggi daripada media kultur sel mamalia. Menumbuhkan kultur sel baru, digunakan teknik shotgun, yaitu mengexplore setiap medium komersial yang telah beredar. Medium komersial seperti Ex-Cell 405 dan SF900 untuk lepidoptera dan medium Drosophila Schneider untuk Diptera.

Pemeliharaan Kultur Sel Serangga

Sebagian besar kultur sel primer tidak bertahan lebih dari dua bulan; namun, periode singkat ini cukup untuk berbagai pembelajaran dan penelitian, seperti perkembangbiakan virus dalam sel yang dikultur dan penelitian imunosit dalam memediasi respons imun terhadap berbagai rangsangan imunologi.  Morfologi sel (bentuk dan penampakan) harus diamati menggunakan mikroskop inverted setiap 2-3 hari, tanggal, nama kultur, jenis, jumlah, dan sumber medium kultur harus tercantum dalam pencatatan selama pengamatan. Pengamatan dengan mikroskop ini dapat membantu menemukan kontaminasi sejak dini dan mencegah penyebaran kultur lain di laboratorium. Granular di sekitar nukleus, pemisahan sel dari substrat, dan vakuolisasi sitoplasma menunjukkan kontaminasi kultur, penuaan cell line, atau keberadaan senyawa berbahaya dalam media, atau perlunya penggantian medium. Penggunaan laminar flow hood dan prosedur aseptik yang baik dapat membantu dalam pemberian antibiotik dan antimikotik dalam pemeliharaan stok kultur.

Subkultur Sel

Subkultur, yang juga dikenal sebagai passaging, melibatkan pembuangan medium bekas, penambahan media baru, dan pemindahan sel dari wadah lama ke wadah baru yang berisi media pertumbuhan baru, yang memungkinkan cell line atau strain cell line diperbanyak lebih lanjut. Ketika sel menempati semua substrat yang dapat diakses atau ketika sel dalam kultur suspensi melebihi kapasitas media untuk mempertahankan pertumbuhan lebih lanjut, proliferasi sel melambat secara signifikan atau sepenuhnya terhenti. Untuk mempertahankan kepadatan optimal bagi perkembangan sel yang berkepanjangan dan peningkatan proliferasi lebih lanjut, diperlukan penggantian medium baru. Beberapa strain cell line serangga yang digunakan dalam biologi molekuler sel dan penelitian virologi, bioteknologi industri, serta pengelolaan hama serangga dapat dilihat pada list berikut (Tabel 4).

Tabel 4. Cell Line Serangga yang digunakan dalam penelitian Entomologi

Cell line Asal Sumber Medium Referensi
IPLB-LdEp Lepidoptera Embrio Lymantria dispar (Erebidae: Lepidoptera) Ex-Cell 400 McKelvey et al. (1996)
CP-169 Lepidoptera Embrio Cydia pomonella (Tortricidae: Lepidoptera) TC199-MK Hink and Ellis (1971)
ECIRL-PX2-HNU3 Lepidoptera Pupa Plutella xylostella (Plutellidae: Lepidoptera) TC 199-M K Carlo et al. (1983)
MRRL-CH Lepidoptera Embrio Manduca sexta (Sphingidae: Lepidoptera) Grace medium Marks (1980)
IPLB-LdFB Lepidoptera larval fat bodies Lymantria dispar (Erebidae: Lepidoptera) Ex-Cell 400 Lynn et al. (1988)
IPLB-TN-R2 Lepidoptera Embio Trichoplusia ni (Noctuidae: Lepidoptera) TNM-FH Rochford et al. (1984)
FPMI-Cf-70 Lepidoptera Ovarium pupa Choristoneura fumiferana (Tortricidae: Lepidoptera) Palli and Retnakara (1999)
IPLB-SF-21 Lepidoptera Ovarium pupa Spodoptera frugiperda (Noctuidae: Lepidoptera) TNM-FH Vaughn et al. (1977)
ECIRL-HA-AM1 Lepidoptera Ovarium pupa Helicoverpa armigera (Noctuidae: Lepidoptera) TC199-MK McIntosh et al. (1983)
IAL-PID2 Lepidoptera Sayap Imajiner Plodia interpunctella (Pyralidae: Lepidoptera) TNM-FH Lynn and Oberlander (1983)
IPLB-HVT1 Lepidoptera Testis Heliothis virescens (Noctuidae: Lepidoptera) TNM-FH Lynn et al. (1988)
ECIRL-HS-AM1 Lepidoptera Ovarium pupa Heliothis subflexa (Noctuidae: Lepidoptera) TC199-MK McIntosh (1991)
IPLB-DU 182E Coleoptera Embrio Diabrotica undecimpunctata (Chrysomelidae: Coleoptera) IPL-52B Lynn and Stoppleworth (1984)
DSIR-HA-1179 Coleoptera Embrio Heteronychus arator (Scarabaeidae: Coleoptera) TC 1 99-M K Crawford (1982)
ERL-AG-1 Coleoptera Telur Anthonomus grandis (Curculionidae: Coleoptera) Ex-Cell 400 Stiles et al. (1992)
LD Coleoptera pupal fat body Leptinotarsa decemlineata (Chrysomelidae: Coleoptera) EX-Cell 401TM Long et al. (2002)
IPLB-Tconl Hymenoptera Embrio Trichogramma confusum (Trichogrammatidae: Hymenoptera) Ex-Cell 400 Lynn and Hung (1991)
IPLB-Tex2 Hymenoptera Embrio tawon Trichogramma exiguum (Trichogrammatidae: Hymenoptera) Ex-Cell 400 Lynn and Hung (1991)
C7/10 Diptera Telur nyamuk Aedes albopictus (Culicidae: Diptera) Eagles MEM Sarver and Stollar (1977)
59 Diptera Embrio Aedes aegypti (Culicidae: Diptera) Ex-Cell 400 Peleg and Shahar (1972)
Line 2 Diptera Embrio dan Larva Drosophila melanogaster (Drosophilidae: Diptera) TC 199-M K Schneider (1972)
UM-BGE4 Blattodea Embrio Blatella germanica (Ectobiidae: Blattodea) UMN-B1 Ward et al. (1988)
AC20 Hemiptera Embrio Agallia constricta (Cicadellidae: Hemiptera) TC 199-M K McIntosh et al. (1973)

Aplikasi Kultur Serangga di masa mendatang

Kultur sel serangga saat ini dinilai sebagai pabrik protein termurah untuk produksi massal protein rekombinan dan pembuatan virus. Ini juga dapat digunakan untuk mempelajari reaksi imun serangga terhadap stres biotik dan abiotik secara in vivo. Kultur sel serangga menawarkan sistem model yang efisien untuk mengevaluasi pemberian dan metabolisme obat, dapat digunakan untuk mengevaluasi cara kerja insektisida dan menganalisis lokasi target baru untuk pengendalian kimia, dapat menjadi sistem model untuk memastikan protein insektisida dan mengevaluasi mekanisme resistensi Bt pada hama serangga. Selain penelitian entomologi, cell line serangga juga dapat digunakan untuk memahami biologi sel dasar, jalur metabolisme, dan efek senyawa toksik dan karsinogenik seperti hidrokarbon aromatik polisiklik, nitrosamin khusus tembakau, Benzo[a] piren, dll.

Sumber:

  1. Bayne, C. J. (1998). Chapter 10 Invertebrate Cell Culture Considerations: Insects, Ticks, Shellfish, and Worms. Methods in Cell Biology, 187–201. doi:10.1016/s0091-679x(08)61578-2.
  2. Jabez R.B., et al. (2023). Insect cell culture vis-à-vis insect pest control. Egyptian Journal of Biological Pest Control volume 33, Article number: 80 (2023)